Trump Bersiap Pimpin Penandatanganan Perdamaian Kamboja-Thailand
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, tengah mempersiapkan diri untuk memimpin penandatanganan perjanjian perdamaian antara Kamboja dan Thailand pada KTT ASEAN pada akhir Oktober 2025.
Langkah ini muncul setelah serangkaian pertempuran perbatasan yang menewaskan lebih dari 30 orang dan memaksa ratusan ribu warga sipil mengungsi.
Trump sebelumnya telah menengahi gencatan senjata yang disepakati pada akhir Juli 2025, yang mengakhiri salah satu konflik paling mematikan antara kedua negara dalam lebih dari satu dekade.
Dibawah ini anda bisa melihat berbagai informasi menarik lainnya seputaran Berita Indonesia Kamboja.
Peran Trump Dalam Mediasi Konflik Perbatasan
Konflik perbatasan antara Kamboja dan Thailand telah berlangsung lama, dipicu oleh sengketa wilayah, termasuk klaim atas kuil bersejarah seperti Preah Vihear dan Prasat Ta Muen Thom.
Pada Juli 2025, pertempuran meletus kembali, menyebabkan lebih dari 30 korban jiwa dan memaksa sekitar 300.000 orang mengungsi.
Presiden Trump memainkan peran kunci dalam mediasi dengan menekan kedua negara melalui ancaman pembatalan perjanjian dagang.
Dalam pernyataan di media sosial, Trump mengklaim telah menyelamatkan ribuan nyawa dan menyebut dirinya sebagai “Presiden Perdamaian”.
KTT ASEAN Momentum Untuk Diplomasi Global
KTT ASEAN yang akan diadakan di Kuala Lumpur pada 26–28 Oktober 2025 menjadi platform strategis bagi Trump untuk menegaskan peranannya dalam diplomasi internasional.
Selain memimpin penandatanganan perjanjian perdamaian. Trump juga berharap dapat mencapai kesepakatan dagang dengan negara-negara ASEAN. Termasuk Malaysia, guna mengurangi tarif yang memberatkan ekonomi kawasan.
Namun, laporan menunjukkan bahwa Trump mengajukan syarat agar pejabat Tiongkok tidak diundang dalam acara tersebut, mencerminkan ketegangan geopolitik yang lebih luas.
Baca Juga:
Tantangan Dalam Implementasi Perjanjian Perdamaian
Meskipun gencatan senjata telah disepakati, tantangan besar tetap ada dalam implementasi perjanjian perdamaian.
Kedua negara harus menghadapi masalah mendalam terkait demarkasi perbatasan dan pengelolaan wilayah sengketa.
Selain itu, ketidakstabilan politik di Thailand, termasuk pemecatan Perdana Menteri Paetongtarn Shinawatra, menambah kompleksitas proses perdamaian.
Kedua negara juga harus membangun kembali kepercayaan antara militer dan masyarakat yang terdampak konflik.