Kerja di Kamboja Tidak Memandang RAS dan Fisik: Hanya Butuh Niat!

Silakan Share

Kerja di Kamboja tidak memandang ras dan fisik, yang paling utama adalah niat dan kesiapan menghadapi berbagai tantangan.

Kerja di Kamboja Tidak Memandang RAS dan Fisik: Hanya Butuh Niat!

Fenomena ini mencerminkan realita kompleks bagi para pekerja migran Indonesia yang memilih Kamboja sebagai tempat mengadu nasib. Meski tawaran bekerja di negara ini sering kali terdengar menggoda, kenyataannya sarat dengan risiko dan dinamika yang perlu diketahui dengan jeli oleh calon pekerja.

Di bawah ini akan membahas realita kerja di Kamboja yang tidak memandang ras dan fisik, melainkan hanya membutuhkan niat dan kesiapan menghadapi berbagai tantangan.

Kamboja, Destinasi Migran Dengan Peluang dan Risiko

Bagi banyak warga Indonesia, terutama yang berasal dari daerah pedesaan dengan keterbatasan lapangan kerja dan kondisi ekonomi yang suram, Kamboja menawarkan peluang penghasilan yang dianggap menggiurkan. Beberapa pekerja bahkan tergiur oleh janji gaji tiga kali lipat dibandingkan upah di dalam negeri, yang bisa mencapai Rp 14 juta per bulan.

Sebuah angka yang sangat menggiurkan di tengah stagnasi ekonomi lokal. Namun, di balik janji itu, tersembunyi kenyataan pahit yang dialami oleh banyak pekerja migran. Salah satu realita pahit yang kerap terjadi adalah praktik tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang masif melibatkan pekerja Indonesia di Kamboja.

Banyak pekerja yang diberangkatkan dengan modus seolah akan berwisata, sebab Indonesia belum menjalin kerja sama resmi dalam penempatan tenaga kerja dengan Kamboja. Mereka menggunakan paspor tanpa visa kerja dan menempuh jalur yang biasanya dipenuhi risiko penyelundupan dan eksploitasi.

Modus Perekrutan dan Eksploitasi Pekerja Migran

Modus operandi para perekrut sindikat TPPO sangat terorganisir dan sering berbasis pada kepercayaan personal. Hal ini terutama terjadi di kalangan masyarakat pedesaan yang minim akses informasi. Penawaran pekerjaan biasanya datang dari teman atau kenalan yang sudah lebih dulu berangkat. Karena hubungan yang dekat, kepercayaan terhadap ajakan ini sangat kuat.

Para pekerja seringkali tidak melakukan verifikasi mengenai jenis pekerjaan yang akan mereka jalani di Kamboja. Setibanya di sana, mereka justru menghadapi kondisi kerja yang jauh dari harapan. Banyak yang dipaksa bekerja di perusahaan judi online dan operasi penipuan daring. Jam kerja yang panjang dan pembatasan komunikasi yang ketat seringkali menjadi kenyataan yang harus mereka hadapi.

Beberapa korban bahkan ditahan paspornya untuk menghalangi mereka pulang. Perlakuan buruk ini menyebabkan banyak pekerja jatuh sakit. Tidak sedikit pula yang meninggal dunia akibat kondisi kerja yang sangat buruk. Keadaan ini menambah beban penderitaan bagi para pekerja migran yang awalnya berharap mencari penghidupan lebih baik.

Baca Juga: Hanya 2 Syarat Supaya Bisa Kerja di Kamboja: Niat dan Disiplin

Kisah Nyata Korban TPPO di Kamboja

Kerja di Kamboja Tidak Memandang RAS

Salah satu contoh dramatis adalah kasus Soleh Darmawan, seorang pemuda asal Bekasi yang awalnya bekerja di hotel di Jakarta dan memilih bekerja di luar negeri dengan niat membantu keluarganya. Janji gaji besar dan pekerjaan dengan modal laptop yang terlihat seperti digital nomad membawanya ke Kamboja.

Namun, kenyataannya, Soleh justru menjadi operator judi online di perusahaan yang tidak pernah dia duga, bahkan meninggal dunia setelah mengalami kondisi kesehatan memburuk dan perlakuan tidak manusiawi selama bekerja di sana.

Kisah Soleh bukan satu-satunya. Banyak pekerja migran lainnya mengalami penderitaan yang sama, mulai dari kondisi kerja berlebihan, pertahanan hati yang tertekan, hingga kegagalan sistem perlindungan dari pihak berwenang Indonesia.

Mereka yang mencoba melapor seringkali datanya bocor hingga diketahui oleh perusahaan yang menindas, membuat situasi makin sulit untuk meloloskan diri dari jeratan sindikat TPPO.

Data dan Kondisi Pekerja Migran Indonesia di Kamboja

Saat ini diperkirakan ada sekitar 130 ribu warga negara Indonesia yang tinggal di Kamboja. Di mana mayoritas masih berstatus pekerja tanpa prosedur resmi dari pemerintah Indonesia. Hal ini membuat seluruh pekerja tersebut rawan menjadi korban kejahatan manusia dan eksploitasi karena tidak ada perlindungan hukum yang memadai.

Kasus pekerja migran ilegal meningkat drastis, terutama para korban penipuan daring yang mencapai lebih dari 3.300 kasus pada 2024, meningkat 60 kali lipat dari tahun 2020. Pemerintah Indonesia sebenarnya menyuarakan peringatan keras kepada calon pekerja migran agar menghindari berangkat secara ilegal, terutama ke Kamboja dan Myanmar.

Namun niat kuat untuk mencari penghidupan sering kali mengalahkan ketakutan terhadap risiko yang ada. Modus rekrutmen lewat media sosial dan iklan pekerjaan dengan janji gaji tinggi terus menghantui masyarakat. Terutama mereka yang kesulitan mencari pekerjaan di tanah air.

Peran Pemerintah dan Solusi yang Diperlukan

Menghadapi fenomena ini, pemerintah Indonesia tengah merevisi undang-undang perlindungan pekerja migran untuk memperluas kewenangan lembaga terkait, termasuk memberikan pendampingan langsung di luar negeri. Kerja sama antar kementerian juga diperkuat untuk memenuhi kebutuhan perlindungan dan reintegrasi pekerja migran yang bermasalah.

Pengamat ekonomi dan sosiolog mendesak pemerintah untuk menciptakan lapangan kerja layak di dalam negeri. Selain itu, upaya mengurangi ketimpangan ekonomi juga perlu menjadi prioritas. Pemerintah diharapkan memperbaiki kualitas pendidikan vokasi agar lebih sesuai dengan kebutuhan industri.

Langkah ini diharapkan dapat mengurangi pencarian pekerjaan ilegal ke luar negeri, terutama ke Kamboja. Melalui upaya tersebut, diharapkan tercipta kondisi yang lebih baik bagi pekerja migran dan ekonomi Indonesia secara keseluruhan. Simak dan ikuti terus Indonesia Kamboja agar Anda tidak ketinggalan informasi menarik lainnya yang terupdate setiap hari.


Sumber Informasi Gambar:

  1. Gambar Pertama dari international.sindonews.com
  2. Gambar Kedua dari tintahijau.com